- Back to Home »
- cerita gaje »
- Suatu Hari, Kutemukan
Posted by : Ricky Anggoro
Minggu, 03 Februari 2013
Ahh, lama yah gak ngupdate blog, biasa, banyak kesibukan, hehehe. Sekarang, gw mau update cerpen gw lagi, Charanya Naruto-Hinata. Happy read :)
Rock
Lee dan aku, Naruto Uzumaki, sedang membicarakan festival yang sebentar
lagi diadakan di sekolah kami. Seperti biasa, kami selalu pulang
bersama. Tapi kali ini, kami melewati jalan yang belum pernah kami
lewati sebelumnya. Di sebelah kiri kami, terbentang tembok bagian
belakang rumah-rumah dan di sebelah kanan kami, mengalir sebuah sungai
dengan arus yang cukup deras.
"Jalan ini kelihatannya agak berbahaya ne.." kata Lee bergidik setelah memperhatikan arus sungai yang mengalir.
"Baka.
sebenernya arus sungainya nggak deres-deres amat tau. kelihatannya aja
berbahaya, karena kita nggak bisa berenang." Balasku sambil tersenyum.
Lee tertawa.
"Yeah... aku benci berenang sejak tenggelam di kolam renang beberapa tahun yang lalu." katanya.
"Itu membuatmu trauma benar?"
"Tentu
saja! Aku butuh waktu beberapa hari untuk yakin aku nggak akan
tenggelam di bak mandi!" jawabnya dengan Kami lalu tertawa bersama.
Kami terus mengobrol dan tertawa, sampai ketika tiba-tiba aku tersandung batu dan kehilangan keseimbanganku.
"Naruto!"
Lee
meneriakkan namaku dan aku merasa tubuhku berguling ke arah sungai
dibawah sana. Kututup mataku dan tak lama kemudian kurasakan tubuhku
menyentuh permukaan air. Aku tidak bisa bernapas!
"To..
tolong!" aku mencoba untuk menggerakkan tubuhku, tapi itu hanya membuat
keadaan menjadi semakin buruk. Tiba-tiba aku ingat. Saat itu, tidak ada
siapapun yang melewati jalan itu kecuali aku dan Lee. Lee tidak bisa
menolongku karena dia juga tidak bisa berenang. Apa ini akhir dari
hidupku?
"Bertahanlah!"
Teriak
sebuah suara yang tidak kukenal. Suara cebur air terdengar tidak lama
setelah itu. Aku tidak bisa melihat apapun. Kepalaku terasa sakit
sekarang. Lalu aku merasa tubuhku dipegang seseorang dan ditarik ke tepi
sungai. Begitu merasakan daratan, Aku terbatuk-batuk dan membuka mataku
untuk melihat siapa penyelamatku. Seorang gadis bertubuh sedang,
berambut biru gelap panjang sampai siku, dan berwajah manis menatapku
dengan tatapan khawatir. Disebelahnya, Lee sedang menangis.
"Terima kasih tuhan! Kau selamat!" Lee masih sesenggukan. Aku mencoba untuk tersenyum.
"tentu saja... aku tidak akan.. mati secepat itu."
Gelap
gulita memenuhi mata dan pikiranku, pingsan. Hal terakhir yang kuingat
sebelum kehilangan kesadaranku adalah wajah malaikat yang sangat cantik.
Kupikir, itu pertama kalinya aku jatuh cinta pada seorang gadis.
.
.
Ketika sadar, hal pertama yang kulihat adalah ibuku yang sedang menangis di pinggir tempat tidurku.
"ibu..."
"Naruto!
Syukurlah! kau tidak apa – apa? Kau tahu betapa khawatirnya aku ketika
temanmu membawamu kemari dalam keadaan pingsan?" Ibuku memelukku erat.
"tidak
apa – apa bu... aku tidak apa – apa sekarang. Aku jnji, aku tidak akan
melewati jalan itu lagi. Maaf membuatmu khawatir." Jawabku lemah.
Kutepuk-tepuk pundaknya, lalu ibuku melepaskan pelukannya.
"Ibu akan membuatkanmu bubur dan teh. Istirahat yang cukup, oke?" Ibu mengelap air matanya. Aku mengangguk.
"Bu... siapa yang membawaku ke rumah? Lee?" tanyaku padanya. Ibuku mengangguk.
"Ya,
dia dan seorang gadis. Ibu belum pernah melihat gadis itu sebelumnya.
Dia cantik. Tapi bajunya basah kuyup. Ketika Ibu menawarkannya untuk
meminjam bajuku, dia menolak dengan sopan dan pergi. Ibu bahkan belum
tahu namanya. Dia teman barumu?"
Kugelengkan kepalaku.
"Aku
belum pernah melihatnya juga bu. Tapi dia lah yang menyelamatkanku.
Jika saat itu dia tidak disana, mungkin aku sudah tidak bisa
diselamatkan."
"Lain
kali kalau kamu bertemu dengannya, berterimakasihlah dan ajak dia
berkunjung ke rumah. Ibu pasti akan memperlakukannya dengan baik." Ibu
tersenyum dan melangkah keluar dari kamarku.
Aku tersenyum lemah. Aku bertekad, aku akan menemukannya setelah cukup istirahat.
.
.
Sangat
mengejutkan! Aku bertemu dengannya di hari pertama aku masuk sekolah
stelah dua hari istirahat dirumah. Dia sedang sendirian disana,
melakukan sesuatu di bangunan green house yang berada di belakang
sekolah. Aura gelap menyelimutinya. Saat itu aku berniat memberi makan
kelinci peliharaan sekolah dan melihatnya disana.
Jadi dia murid sekolah ini juga?
Kenapa aku belum pernah melihat atau bertemu dengannya sebelumnya?
Ketika
aku berniat menghampirinya, seseorang mencegahku dengan menarik
pergelangan tanganku. Kutolehkan kepalaku dan menemukan Shion, Teman
sekelasku. Dia menggelengkan kepalanya dan menaruh jari telunjuknya
dibibir. Lalu Shion memberikan sinyal padaku untuk mengikutinya.
"Jangan dekati atau bicara padanya." Kata gadis itu.
"Eh? Kenapa?"
"Dia berbahaya. Tidakkah kau lihat ada beberapa memar ditubuhnya? Dia suka berkelahi. Dia gadis berandal." Jawab Shion.
"Memar? Bagaimana bisa kau langsung menyimpulkan dia suka berkelahi?"
"Aku
pernah melihatnya berkelahi dengan seseorang di jalan dan ketika aku
ingin bertanya tentang keadaannya keesokan harinya, dia menatapku
dingin. Dan aku bisa membaca 'Jangan dekati aku' dari matanya. Dia juga
tidak pernah berbicara pada siapapun. Bahkan para guru pun takut
padanya." Shion menjelaskan dengan wajah serius. Tapi aku tidak percaya
bahwa penyelamatku adalah seorang gadis berandal.
"Siapa dia?" tanyaku pada Shion.
"Hinata
Hyuuga dari kelas sebelah. Dia jenius, tapi jarang sekali terlihat
bersama orang lain. Jadi terkesan seperti punya dunia sendiri. Dan juga,
dia sangat misterius."
Aku mengangkat sebelah alis mataku, tidak percaya pada hal yang dikatakan Shion. Tapi setidaknya, aku tahu namanya.
.
.
"Kau yakin dengan ini Naruto?" Lee melihatku dengan tatapan tidak yakin, aku menganggukan kepalaku.
"Aku
serius." Kataku mantap. "aku ingin berterimakasih padanya dan jadi
temannya. Tapi Aku perlu tahu tentang dia dulu. aku sudah mengamatinya
beberapa hari ini, dan aku tidak akan berhenti hanya dengan melakukan
pengamatan itu." Dengan bangga kukatakan itu pada Lee.
"Perkataanmu membuatmu kedengaran seperti seorang stalker..." Lee melihatku dengan tatapan jijik. Kucubit pipi-nya.
"Baka! aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang orang yang menyelamatkanku!"
"oke... oke..." Lee mengelus pipinya yang memerah. Cubitanku cukup kuat kan?
Aku
sudah mendapat beberapa data tentang gadis bernama Hinata Hyuuga ini.
Dia adalah anak jenius yang hampir tidak pernah bicara di kelasnya,
tetapi selalu mendapat nilai sempurna pada setiap mata pelajaran. Dia
tidak punya sahabat dan lebih memilih menghabiskan waktunya sendirian.
Pada waktu istirahat, kadang-kadang dia memupuk tanaman, kadang-kadang
menyiraminya, dan kadang-kadang dia memberi makan hewan peliharaan
sekolah.
Ada
beberapa gosip jelek tentangnya yang mengatakan bahwa dia adalah gadis
berandal yang suka berkelahi. Dia tidak mematuhi ayahnya. Ibunya bekerja
diluar kota, jadi dia tinggal berdua dengan ayahnya. Tapi kedengarannya
hubungannya dengan ayahnya tidak baik. Ada gosip juga bahwa ayah
kandungnya telah meninggal sewaktu dia kecil, dan dua tahun lalu, ibunya
menikah lagi.
Jadi, mungkin dia menjadi berandal karena broken home?
Aku
jadi semakin penasaran tentang gadis ini. Itu mengapa sekarang aku dan
Lee mencoba mengikutinya sepulang sekolah. Aku ingin benar-benar
mengetahui kehidupannya. Apa dia benar-benar gadis berandal?
"Naruto,
dia muncul!" Lee menepuk bahuku keras. kulirik sinis Lee sebentar
sebelum Kutolehkan kepalaku ke arah yang ditunjukkan Lee dan melihat dia
berjalan keluar dari gerbang.
"oke, Lee, ayo ikuti dia!"
Aku
tidak peduli jika orang-orang menganggapku sebagai stalker, selama aku
mendapat informasi tentang Hinata Hyuuga. Orang yang telah mengambil
hatiku.
Dia
berjalan melewati jalan dimana aku tersandung kemarin. aku dan Lee
berlari memutar melalui jalan alternatif lain, dan menunggunya dekat
jembatan. Ternyata dia melewati jalan itu setiap hari.
Hinata
berhenti di tengah jembatan sebentar, memandang ke suatu tempat. Aku
mengikuti arah pandangannya. Dia memandang sebuah taman yang ditumbuhi
dengan banyak pohon momiji dan menghela napas. Dan kemudian, Hinata
mulai berjalan lagi ke arah yang berlainan dengan taman itu. Dia terus
berjalan dan akhirnya berhenti dan masuk ke sebuah rumah bergaya
tradisional Jepang yang besar.
"I... Ini rumahnya? Besar banget!" Lee berbisik dalam kekaguman hingga dia tidak mengedipkan matanya selama beberapa detik.
"mungkin... ayo kita lihat."
Aku
kembali memfokuskan diriku pada Hinata dan menemukan wajahnya yang
kelihatan penuh beban. Kelihatannya dia tidak mau memasuki rumah itu,
tapi ia tidak punya pilihan. Dia menghela napas lagi dan memasuki rumah
itu dengan tampang malas. kami tetap pada posisi kami, dan sepertinya
tidak ada tanda-tanda bahwa Hinata akan keluar dari rumah itu lagi.
"Itu
benar-benar rumahnya Naruto!" Lee menepuk bahuku keras lagi. "Aku ingin
punya rumah seperti ini juga suatu hari nanti.." Lee mulai bergumam,
sedangkan aku mengehela napas.
"oke
Lee, hentikan khayalan konyolmu sekarang juga, sebelum kau melakukan
hal aneh di depan umum. aku pernah mengalami itu, dan itu sangat
memalukan." Saranku. Lee cemberut.
"Jangan
samakan aku dengan dirimu!" balasnya. Aku tertawa. tapi aku refleks
berhenti tertawa ketika mendengar suara gelas pecah yang disusul dengan
suara beberapa teriakan. Dan semua suara itu berasal dari rumah Hinata.
Kami
tetap bersembunyi, dan dengan waspada melihat ke rumah itu. Pintu rumah
itu tiba-tiba dibanting dengan keras dan Hinata berlari keluar dari
dalam rumahnya. Dia menatap rumahnya sebentar dengan mata yang penuh
dengan air mata.
"aku lebih memilih mati sekarang!" teriaknya, membuat mataku melebar. Apa maksudnya?
Lalu
dia berlari menjauhi rumahnya. Kami berlari dibelakangnya dengan
waspada agar dia tidak menyadari kami mengikutinya. Dia berlari sangat
cepat sehingga kami tidak bisa mengikutinya. Pada awalnya, kupikir aku
tidak akan bisa mengikutinya tapi...
Disana,
kulihat Hinata di tengah jembatan. Menangis sambil memerhatikan air
yang mengalir deras dibawah jembatan. Dia membiarkan sehelai daun momiji
yang ada ditangannya diterbangkan angin, dan jatuh ke sungai. Aku bisa
melihat dengan jelas kesedihannya melalui matanya yang berair. Mata
sedih seperti itu sebenarnya sama sekali tidak cocok untuknya.
Hinata
mengeluarkan sesuatu dari kantung blazernya dan aku terkejut dengan apa
yang dikeluarkannya. Sebuah cutter! Dia benar-benar berniat bunuh diri?
Hinata
menutup matanya dan menggigit bibir bawahnya sebelum mendekatkan cutter
itu ke tangan kirinya. Aku melebarkan mataku sesaat dan tanpa sadar,
aku berteriak.
"Hentikan!"
Teriakku lalu aku berlari menuju Hinata secepat mungkin. Untungnya saat
itu tidak ada siapapun yang melewati jembatan, jadi aku berlari tanpa
menumbur siapapun. Dia kelihatan sangat terkejut. Tangan kanannya masih
memegang cutter.
"Tolong..
Hentikan!" kupegang tangan kanannya segera saat mencapai tempatnya
berdiri. Masih terengah-engah dan mencoba menghirup udara.
"Siapa... siapa kau?"
Kutatap mata berairnya. Saat ini, dia kelihatan sangat rapuh.
"Aku
akan memberitahumu... setelah kau... melepaskan cutter ini..." jawab ku
masih terengah-engah. Hinata mencoba melepaskan tanganku.
"Biarkan
aku mati! Lepaskan aku!" teriaknya. Tetapi aku adalah orang yang keras
kepala dan tentu saja aku tidak akan membiarkan penyelamatku meninggal
begitu mudahnya. Di wajah, leher, dan tangannya kutemukan beberapa
memar. Kutepiskan tangan kanannya dan cutternya jatuh ke sungai.
"beraninya kau lakukan itu! Lepaskan aku!"
Hinata terus berteriak. Aku takut itu akan mengundang perhatian orang. Jadi aku tidak punya pilihan.
Kelakuanku
sendiri selanjutnya membuatku kaget. Tanpa kusadari, kudaratkan bibirku
diatas bibirnya. Dia menutup matanya erat-erat tetapi tidak mendorongku
menjauh. Aku masih mengenggam tangan kanannya erat-erat, menolak untuk
melepaskannya. Pelan-pelan, kulepaskan ciuman itu. Wajah Hinata merah
padam dan dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya memegangi
bibirnya dengan tangan kirinya dan menatapku.
"Tenanglah.
Aku tidak ingin ada orang yang melihatmu begini." Kataku sambil menatap
mata putih indahnya. Lalu kulepaskan tangannya.
Aku
bisa mendengar isakannya beberapa detik sesudahnya. Dia jatuh terduduk
di tanah dan menangis. Air mata terus mengalir jatuh dari matanya.
"Tolong... biarkan aku mati..." ucapnya diantara isakannya. Kugelengkan kepalaku dan memberinya pelukan.
"Bagaimana
bisa kau mengatakan itu padahal kau telah menyelamatkan nyawa orang
lain? Apa kau ingat, kau menyelamatkanku kemarin?" kuelus pundaknnya.
Hinata tidak berkata apapun lagi setelah aku mengatakan itu.
.
.
Kami
membawanya ke rumah Lee setelah itu. Orangtua Lee sedang pergi keluar
kota, dan kakak perempuannya membiarkan kami berada disana. Aku tidak
bisa membiarkan Hinata pulang kerumahnya setelah kejadian itu. Aku takut
dia akan melakukan sesuatu seperti itu lagi.
Malam
itu, Hinata menceritakan segalanya pada kami. Dia sangat frustasi
sehingga tidak bisa menahannya sendiri lagi. Semua memar ditubuhnya dia
dapat dari ayah tirinya. Dia sama sekali tidak suka berkelahi, sangat
kontras dengan rumor yang beredar. Dia sering diganggu beberapa berandal
yang berniat jahat padanya. Itu alasan mengapa dia berkelahi. Untuk
melindungi dirinya.
Ibunya
meninggalkannya bersama ayah tirinya, karena harus bekerja di luar
kota, dan hanya pulang dua bulan sekali. Ayah tirinya adalah pemabuk.
Dia memperlakukan Hinata dengan baik didepan ibunya Hinata, tapi dia
menganiaya Hinata ketika ibunya tidak dirumah. Dia sering menampar,
menendang, dan memukul Hinata. Setiap pembantu dirumah itu takut
padanya. Mereka hanya bisa diam-diam mengobati luka Hinata. Itu mengapa
Hinata tidak bisa meninggalkan rumahnya, dia sudah menganggap
pembantu-pembantunya
sebagai keluarganya. Mereka sangat peduli padanya, jika dirinya pergi
dari rumah itu, dia khawatir mereka akan dalam masalah.
Setiap
orang punya batasannya masing-masing. Hinata tidak bisa menahannya
lebih lama lagi saat ayah tirinya mengajaknya tidur bersamanya. Hinata
sadar, ayah tirinya mempunyai obsesi padanya, dan alasan Hinata kabur
kali ini adalah karena ayah tirinya pulang cepat dan mencoba
memperkosanya.
Aku
dan Lee melenguh. Kami tidak menyangka Hinata mempunyai kehidupan
sekeras itu. Dia tidak punya teman karena rumor-rumor jelek tentangnya.
Sebenarnya, orang yang menebarkan rumor itu adalah ayah tirinya,
sehingga Hinata akan kesepian dan tidak punya teman. Ayah tirinya selalu
mengatakan pada orang-orang tidak mudah mengurus Hinata. Dialah yang
mengatakan bahwa Hinata adalah gadis berandal yang tidak pernah
mematuhinya. Dia juga yang menyebarkan rumor bahwa Hinata suka
berkelahi.
Bagimana
bisa ada orang seperti itu di dunia ini? Hinata tidak seharusnya
mendapat perlakuan seperti itu. Dia adalah orang yang sangat baik dan
mengagumkan. Aku tahu itu. Dan aku bersumpah, aku akan melindunginya
dengan seluruh tenagaku mulai sekarang.
.
.
Semua
orang terkejut saat aku menyapa Hinata dikelasnya pada saat istirahat.
Saat bel berbunyi, aku langsung pergi menuju kelasnya. Sebelum dia pergi
kemana-mana.
"Hinata! Mau pergi ke kanting bareng?" tanyaku.
Dia
hanya menatapku dengan tatapan terkejut. Dan yang lain menatapku dengan
tatapan tidak percaya. Tetapi kuabaikan mereka semua. Hal terpenting
sekarang adalah, aku harus menemani Hinata. Aku tidak mau dia kesepian.
Aku tersenyum melihat wajah terkejutnya yang imut. Kudekati mejanya dan menariknya keluar dari kelas.
"Ayo!
Setelah ini, aku akan membantumu menyirami tanaman di green house."
Kataku. Hinata menggigit bibir bawahnya dan melihat ke sekeliling,
kelihatan tidak yakin. Tetapi aku tetap menariknya menuju kantin.
"sebaiknya kita cepat sebelum kantinnya penuh sesak!"
Masih
mengenggam tangannya, kutarik dia ke kantin, dan membeli beberapa
minuman. Hinata tidak mengatakan apapun, tapi dia tetap menatapku.
Setelah itu, kutarik dia ke green house dan meletakkan minuman kami di
bangku taman.
"Jadi, dimana penyiram tanamannya?"
Hinata
menunjuk suatu tempat dekat bangku taman, kuambil benda itu, mengisinya
dengan air, dan mulai menyiram. Dia terdiam disana menyaksikan betapa
semangatnya diriku menyirami tanaman sambil menggumam. Kutolehkan
kepalaku padanya dan tersenyum.
"Bisa bantu aku?"
Hinata
mengangguk pelan dan mengambil penyiram yang lain. Dia berdiri
disebelahku dan mulai menyirami tanaman. Setelah semua tanaman sudah
disiram, kuambil sekaleng susu cokelat yang tadi kubeli dikantin, dan
kuberikan padanya. Hinata melihat kearahku dengan tatapan bingung.
"Ambillah." Aku tersenyum lembut padanya. Dia mengambil susu kaleng itu.
"Terima kasih." Ucapnya malu-malu.
"Jangan
ragu-ragu ne. Kita kan teman. Tidak perlu malu padaku." Kataku sambil
tertawa. Aku bertaruh, tidak ada yang tahu sisi imutnya ini.
"Ini...
pertama kalinya aku punya teman yang mengajakku ke kantin. Dan kau juga
orang pertama yang menemaniku menyirami tanaman." Ucapnya sambil
tersipu.
"Kalau begitu, aku akan menemanimu mulai sekarang." Aku tersenyum, dia menatapku dengan matanya yang melebar.
"Kau... kau tidak perlu-"
"Tenang
saja. Aku pasti melakukannya. Aku tahu sendirian rasanya seperti apa.
Jadi aku akan menemanimu sehingga kau tidak merasa kesepian lagi."
Hinata menunduk, aku bisa melihat dengan jelas pipi merahnya.
"Terimakasih.."
dia lalu menatapku dan tersenyum. Jantungku berdetak semakin cepat
melihat senyum malaikat-nya. Kupikir, aku jatuh cinta padanya untuk yang
kedua kalinya.
.
.
"Anoo..."
"Hmm?"
Kutolehkan kepalaku padanya. Kali ini kami sedang memupuk tanaman.
Walaupun sebenarnya aku tidak suka dengan bau pupuk yang menyengat, aku
tetap akan membantunya.
"Uzumaki-kun
kalau nggak tahan sama baunya, boleh berhenti kok.. biar aku yang
melakukannya." Hinata menggeser tubuhnya dan memupuk tanaman yang tadi
sedang kupupuk.
"Hei..hei..
kemarin kan aku sudah bilang, aku akan membantumu... Sekali berjanji,
aku tidak akan melanggar janjiku.." lalu aku mulai memupuk tanaman yang
belum dipupuk. Hinata menatapku sebentar lalu mulai memupuk tanaman yang
lain.
"Arigatou."
Kutolehkan kepalaku padanya, dia sedang menunduk sambil memupuk tanaman.
"Douita~ ini bukan apa-apa untukku." Kataku sambil tersenyum. "Oh ya.. mulai sekarang jangan panggil aku Uzumaki-kun lagi."
Hinata menolehkan wajahnya padaku, dan menatapku dengan ekspresi bingung yang sangat imut.
"Aku kan memanggilmu dengan Hinata, jadi kau panggil aku dengan Naruto"
"Eh?" Wajah Hinata memerah.
"Ya. Panggil aku dengan Naruto."
"H..Hai.." jawabnya mengangguk.
"Dan
jangan segan-segan untuk memarahiku atau men-tsukkomi**-ku kalau aku
melakukan sesuatu yang bodoh." Aku memainkan wajahku sehingga terlihat
bodoh. Hinata tertawa. Ini pertama kalinya aku melihatnya tertawa.
Cantik sekali. Hinata selalu bisa membuatku jatuh cinta padanya.
.
.
Seminggu
telah berlalu. Dan sekarang, aku sering melihat Hinata tersenyum. Dia
sering tersenyum padaku dan aku tidak melihat memar pada tubuhnya lagi.
Katanya, ibunya telah kembali dan akan tinggal untuk waktu yang tidak
diketahui. Ibunya Hinata sangat rindu pada anak perempuannya dan itu
mencegah ayah tirinya melakukan hal buruk pada Hinata. Itu mengapa
belakangan ini, aku bisa melihat aura yang lebih cerah disekitarnya.
Tapi,
ada satu hal yang tidak dapat kuterima. Setelah pertama kalinya aku
mengunjunginya di kelasnya, beberapa siswi mendekatinya dan bertanya
tentang tanaman padanya. Kelihatannya mereka kagum pada tanaman yang
ditanam Hinata. Hinata telah menanam berbagai macam tanaman di green
house dan semuanya tumbuh dengan baik. Mereka menanyakan tentang cara
merawat tanaman. Walaupun pada awalnya Hinata kelihatan ragu-ragu untuk
bicara pada mereka, tapi pada akhirnya dia menjelaskan pada mereka
setelah kuyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Sejak
hari itu, dia punya banyak teman. Dan dia juga sering tersenyum pada
semua orang. Sedikit demi sedikit, rumor tentangnya menghilang. Bahkan
Shion yang pertama kali memberitahuku untuk tidak mendekati Hinata,
sekarang melihat Hinata dengan pandangan yang berbeda.
Aku
tidak suka keadaan seperti ini, dimana senyumannya tidak hanya
ditujukan padaku. Tapi ditujukan pada semua orang. Dan aku bertaruh,
tidak lama setelah ini pasti ada banyak siswa yang akan menyatakan
perasaan padanya. Itu membuatku merasa sangat cemburu.
Disana,
sepulang sekolah kulihat dia dikelilingi beberapa siswa dan siswi, dan
dia tersenyum dengan manisnya. Aku senang dia punya banyak teman
sekarang, tetapi aku juga merasa kehilangannya. Entah apa yang
merasukiku, tetapi ketika sadar, aku sudah menghampirinya, dan
menggenggam tangannya.
"Gomen
minna. Sekarang saatnya dia pulang ke rumah bersamaku." Aku tersenyum
dan membungkuk sebentar sebelum menarik Hinata keluar dari kerumunan
itu. Hinata menatapku dengan tatapan bingung, tetapi masih mengikutiku.
"Naruto, dimana lee?" tanyanya.
"Dia punya kencan dengan pacarnya, jadi dia tidak bisa pulang bersama kita hari ini." Jawabku, sambil terus melihat kedepan.
"Wow. Dia punya pacar?"
"Ya. Namanya Sakura. dia Teman sekelas kami yang sangat galak padaku."
"haha Sugoi ne.." katanya sambil tertawa pelan.
Kubawa dia ke taman dekat jembatan. Aku tahu dia selalu memandang kesini setiap kali dia melewati jembatan.
"Eh? Kita nggak langsung pulang?" tanya Hinata ketika kami berhenti di taman itu. Kugelengkan kepalaku.
"Kau selalu ingin pergi kesini kan? Kenapa kau biasanya hanya memandang kesini tanpa datang kesini?"
"Ada... banyak orang disini, dan aku tidak suka dengan keramaian." Jawabnya. Aku tersenyum padanya.
"Kalau
begitu, ayo cari tempat yang tidak terlalu ramai disini, oke? Aku ingin
menjernihkan pikiranku sebentar." Pintaku. Dia mengangguk.
Lalu,
masih dengan berpegangan tangan satu sama lain, kami melewati jalan
yang disediakan. Dikelilingi pohon momiji, Pemandangan saat itu yang
sangat indah. Akhirnya kami sampai di pojok taman, dimana tidak ada
siapapun yang datang kesana. Daun momiji bertaburan dimana-mana diatas
tanah. Aku duduk di bangku taman dekat sebuah pohon dan Hinata mengikuti
kelakuanku.
"Ada banyak daun momiji disini ne..." ucapku mencoba membuka topik pembicaraan. "Sangat menenangkan hati.."
Hinata
mengangguk. Dia turun dari bench lalu berjongkok mengambil beberapa
helai daun momiji dari atas tanah dan memerhatikannya dengan tatapan
kagum.
"Kau suka?"
"Apanya?"
"Momijinya."
Hinata mengangguk lagi.
"Momiji...
Mereka adalah daun-daun cantik yang begitu indah. Tapi walaupun begitu,
Mereka tidak pernah menunjukkan kesombongan mereka karena warna indah
yang mereka miliki. Sebaliknya mereka menggugurkan daunnya setiap musim
gugur dan membuat musim gugur semakin sempurna. Tanpa momiji, musim
gugur tidak akan terasa seperti musim gugur kan? Itu alasannya mengapa
aku suka momiji.." Hinata menatap momiji di tangannya dengan tatapan
lembut.
Aku
benar-benar ingin mengabadikan scene dihadapanku. Dia kelihatan sangat
cantik, dengan tangannya yang memegang daun momiji,rambut panjangnya
yang melambai pelan dimainkan angin musim gugur, dan senyuman lembutnya.
"Momiji membuat musim gugur menjadi lebih indah dan Pemandangan disini semakin cantik." Kataku. Dia mengangguk pelan.
"Kau benar."
"Dan
pemandangannya jadi semakin cantik lagi karena kau disini dengan momiji
yang cantik itu." Kataku dengan serius. Hinata menolehkan kepalanya
padaku, dan kehilangan kata-kata. Tapi tidak lama kemudian dia tertawa
pelan.
"Haha. Jangan mengatakan hal seperti itu Naruto."
Kuraih tangannya dengan kedua tanganku dan kuletakkan tangannya di dadaku.
"Aku
serius Hinata. Kau cantik dan spesial bagiku. Tolong, jadikan aku orang
yang akan berada disampingmu mulai sekarang sampai nanti."
Kutatap
matanya langsung. Hinata balas menatapku, dan perlahan-lahan kulihat
wajahnya memerah. Pelan-pelan kudekatkan wajahku dengan wajahnya. Hinata
diam pada posisinya, matanya masih menatapku. Hidungku menyentuh
hidungnya, dan dia maih menatapku. Matanya yang putih kelihatan sempurna
dan cantik. Kulitnya sangat lembut dan hangat. Dan aku bisa merasakan
napas hangatnya di bibirku. Perlahan-lahan, dia menutup matanya, dan
ketika bibir kami bersentuhan, kututup mataku. Kugenggam tangannya erat,
tidak akan pernah membiarkannya pergi dariku. Dan kupikir, aku jatuh
cinta padanya lagi. untuk entah yang keberapa kali...
.
.
Aku
berjalan ke rumah Hinata dengan bersemangat. Kurasakan hari ini berbeda
dengan hari sebelumnya. Mungkin karena ciuman kemarin. Walaupun belum
ada pernyataan resmi bahwa kami berpacaran sekarang, tetapi kurasa
Hinata membalas perasaanku. Dia membalas ciumanku dan membiarkan
tangannya dalam genggamanku sepanjang pejalanan pulang. Dan hari ini,
kuputuskan untuk pergi ke sekolah bersamanya, untuk menunjukkan pada
orang-orang di sekolah bahwa dia adalah milikku.
Tetapi
ketika aku mencapai rumahnya, kulihat banyak orang berkumpul disana.
Mungkin mereka tetangga Hinata. Tapi kenapa wajah mereka semua sangat
serius? Aku punya perasaan buruk tentang ini. Apa ada sesuatu yang
terjadi pada Hinata-ku?
"Uhm... permisi. Apa yang terjadi disini?"
Kucoba
untuk bertanya pada wanita didepanku. Dia memberiku tatapan sedih. Dan
jawaban wanita itu cukup kuat untuk membuat duniaku berhenti berputar.
"Apa kau teman dari gadis yang tinggal disini? Dia dibunuh oleh ayahnya pagi ini."
Ya... duniaku telah pergi, diterbangkan oleh angin musim gugur.
.
.
Gadis
cantik yang berada di peti mati itu adalah Hinata Hyuuga-ku. Dia sangat
cantik memakai gaun berwarna lavender yang akan dia pakai selamanya.
Tidak ada yang berbeda darinya. Hanya saja, aku tidak bisa merasakan
kehangatannya lagi saat menyentuhnya. Wajahnya masih menunjukkan sisi
malaikat-nya, Sebuah senyum tipis masih terbentuk di bibirnya. Jika itu
adalah sebuah tempat tidur, mungkin aku akan berpikir dia sedang tidur
dengan nyenyak.
Ayahnya
mabuk lagi semalam, dan pulang pada pagi buta. Ibunya pergi mendadak
lagi karena mendapat panggilan untuk kerja di luar kota. Ibunya sudah
meninggalkan rumah sejak kemarin siang. Tidak ada yang salah pada rumah
itu sampai pagi buta dimana ayah tirinya sampai dirumah. Dengan paksa
dia membuka kamar Hinata dan menemukan Hinata yang sedang tidur disana.
Dia mencoba untuk memperkosa Hinata lagi, dan Hinata yang tidak punya
pilihan selain bangun dan berteriak.
Teriakannya
membuat para pembantu dirumah itu bangun dan langsung menuju kamar
Hinata. Sedangkan saat para pembantunya menuju kamarnya, Hinata berusaha
keras dan mencoba untuk mengusir ayah tirinya atau kabur. Ayah tirinya
marah karena merasa ditolak, dan mencekik Hinata sampai napas
terakhirnya. Ketika para pembantunya sampai di kamar Hinata, Hinata
sudah tergeletak tidak bernyawa di lantai, masih dengan kedua tangan
ayah tirinya di lehernya. Beberapa pembantunya memanggil polisi, yang
sebagiannya lagi mengikat ayah tiri tersebut di kursi, dan sebagiannya
lagi mencoba untuk menyelamatkan Hinata. Tapi semua sudah terlambat.
Ibunya
langsung pulang kerumah setelah mendengar berita buruk itu dan tidak
berhenti menangis sejak pagi ini. Dia menyalahkan dirinya sendiri, untuk
tidak bisa dirumah dan melindungi anaknya dari lelaki itu. Ayah tirinya
sudah ditangkap polisi, dan sedang menunggu hukumannya.
Tetapi
betapa beratpun hukuman yang akan diterimanya, tidak akan bisa membawa
Hinata kembali ke sisi ku. Saat kugenggam tangannya dan kucium bibir
dinginnya untuk yang terakhir kali, air mata mengalir tidak berhenti
dari mataku.
"Tidur yang nyenyak, Hinata Hyuuga-ku."
.
.
Dia
pergi saat dia sudah punya keberanian untuk mengubah dirinya. Walaupun
dia sudah punya banyak teman, sampai pada saat dia pergi, dia tidak
pernah sombong pada kami. Dia berasal dari keluarga kaya, tapi tidak
pernah menunjukkannya pada kami. Dia tidak pernah memarahi orang lain
atau murid lain untuk percaya dan menambah rumor palsu tentangnya. Tiap
kali ada seseorang yang meminta bantuannya, dia tersenyum dan membantu
mereka sebaik mungkin. Dia menunjukkan kerendahan hatinya dimanapun dia
pernah berada. Sama seperti daun – daun momiji yang disukainya.
Aku
mengelus kuburannya lagi. Dan mengulang nama yang selalu terukir
dihatiku itu. Walaupun aku tahu, sebanyak apapun aku memanggil namanya,
dia tidak akan datang padaku lagi. Dia, orang yang telah membuatku
berkali-kali jatuh cinta padanya, sekarang sudah menghilang.
Setahun
telah berlalu, dan taman ini masih sama seperti sewaktu kami pertama
kali pergi kesini. Hinata dikuburkan di sebuah titik di taman itu,
tempat dimana kami pertama kali berciuman. Ketika kuberi tahu ibunya
tentang tempat favoritnya, ibunya meminta izin untuk menguburkan Hinata
disana.
Aku
mengambil sehelai daun Momiji dari tanah, dan mencari sesuatu dari
dalam kantong celanaku. Kukeluarkan pena, dan kutuliskan sesuatu diatas
daun tersebut. Aku melihatnya untuk yang terakhir kali, sebelum
menaruhnya di kuburan Hinata. Aku belum mengatakan ini padanya
sebelumnya. Jadi, aku berharap dia bisa membacanya dari atas sana.
Angin
musim gugur mernerbangkan daun-daun momiji yang berserakan disekitar
kuburan Hinata. Aku diam memandang kuburan Hinata sekali lagi. Daun yang
kutulis, masih ada disana. Lalu aku tersenyum dan pergi dari sana,
meninggalkan sehelai momiji dengan perasaanku yang tertulis diatasnya.
.
I LOVE YOU
sedih sekali
BalasHapusmangharukan
BalasHapusSeru banget..... dan sedih
BalasHapus