Welcome to my blog xD

Selamat datang di Blog yang sederhana ini.

Silahkan isi pendapatmu di Buku Tamu

Terima kasih

Posted by : Ricky Anggoro Rabu, 10 Oktober 2012

 Biasanya,gw nulis cerita yang berbau humor,tapi berhubung ada lomba cerpen,jadi saya upload cerpen khusus saya ini,hehe. Daripada lama-lama,langsung cekidot




Prolog
Saya, Salma Situmorang.16 Tahun.
Aku seorang Heiress Situmorang, berasal dari kalangan terpandang. Semua orang tahu margaku. Dan mereka tak akan bermain 'asal' kepada kami jika tak ingin mengakhiri hidupnya.
Tapi ah, itu masa lalu.
Situmorang yang sekarang kumiliki, bukan lagi orang kelas satu yang sering mengunjungi pesta-pesta mewah. Perusahaan kami bangkrut. Rumah kami dijual, dan mulai detik ini, kehidupanku berubah tiga ratus enam puluh derajat.
"Selamat datang di apartemen Kebun Jeruk!"

.
.
.
.
Dahulu, saat masih sekolah di tempat swasta, aku menjadi sosok yang dinomorsatukan. Setiap ujian nilaiku selalu berada diperingkat teratas. Nomor satu. Pujian 'kau Jenius, Situmorang!' bukan lagi hal yang jarang kudengar. Para guru memperlakukanku berbeda dengan anak yang lainnya. Aku seperti telur emas milik mereka dan eksistensiku sendiri kadang membuat beberapa anak iri. Aku senang bisa menjadi yang paling unggul. Aku merasa percaya diri—amat sangat—dimasa itu. seolah aku memiliki dunia ditanganku sendiri.
Tapi sejak keluargaku bangkrut, level sekolahku jatuh. Detik dimana aku tinggal di apartemen bersama keluargaku, detik itu juga aku di pindahkan ke sekolah negeri, SD Negeri Kebun Jeruk 1. Saat itu, umurku masih dua belas tahun. Kelas enam SD.
Tentu saja karena level yang tergolong berbeda, aku bisa mengikuti pelajaran di sekolah itu seperti membalikkan telapak tangan. mudah sekali. Setiap hapalan, hitungan, soal cerita, membuat karangan, percakapan dalam bahasa asing, aku bisa mengerjakan itu semua bahkan tanpa harus berpikir keras. Alasannya sangat gampang. Hal-hal yang kupelajari di SD ini , sebenarnya sudah kupelajari di sekolah swastaku, dahulu.
Tapi sayang, kali ini aku tidak bisa meraih posisi satu.
1 Rina Haryanti          9,6
2 Salma Situmorang  9,55
Aku menoleh pada sosok gadis berambut ikal dan berkacamata yang sedang menatap namanya di papan nomor teratas. Ia tersenyum pada papan itu, kemudian pergi begitu saja.
Aku jengkel dengan sikap sok menangnya.
"Rina ranking satu lagi!"
"Kukira anak baru itu yang bakal juara satu,"
"Aku juga sempat berpikir begitu. Kenapa ya?"
Aku menguping sedikit pembicaraan anak-anak yang masih berdiri tak jauh dari papan nilai. Mereka mungkin tak menyadari keberadaanku karena aku memunggungi orang-orang itu. yah, meskipun merasa bangga karena bisa mengikuti pelajaran dengan mudah, tapi aku bukanlah sosok yang teratas. Tentu saja, aku kalah dengan Rina dalam mata pelajaran Atletik yang waktu itu dijadikan sebagai mapel pokok dalam sekolah negeri yang aneh itu. Jujur saja, aku tak bisa Atletik! Rina sudah mempelajarinya sejak ia duduk di bangku kelas satu SD. Nilai dirapotnya untuk Atletik sembilan, sementara aku yang newbie hanya diberi angka tujuh pas.
Kalau saja Atletik tidak dijadikan mata pelajaran, aku pasti bisa tertawa puas diatas wajah Rina.
.
.
Masa-masa kelulusan adalah yang paling menyenangkan bagiku. Bagi para murid yang berprestasi, mereka akan dipanggil satu persatu ke atas panggung dan menerima beberapa penghargaan. Aku bersaing ketat dengan Rina pada saat itu, meskipun tetap tak menampik kenyataan bahwa ia berada diatasku. Namun dalam hal lomba dan lomba, kami termasuk seri. Yeah memang seri, tapi tetap saja piala juara umum—tropi yang memiliki kaki tiga—jatuh ke tangannya. Padahal nilai kami hanya terpaut nol koma tiga!
Ini membuatku frustasi!
"Untuk lulusan terbaik kita, Rina Haryanti!"
Dia maju empat kali untuk menyabet nilai tertinggi dalam mata pelajaran bahasa Inggris, nilai tertinggi dalam mata pelajaran Atletik, ranking pertama dikelas 6A—kelas kami—dan juara umum di angkatanku.
"Untuk lulusan terbaik nomor dua kita, Salma Situmorang!"
Aku juga maju empat kali, sama sepertinya. Aku maju karena mendapat nilai tertinggi pada mata pelajaran bahasa Indonesia, lulusan dengan pidato bahasa Inggris terbaik, nilai matematika tertinggi seangkatan dan ranking dua di kelas 6A.
Semua orang bersorak sorai. orangtuaku ikut maju keatas panggung untuk mengadakan sesi foto bersama. Saat semuanya memamerkan senyum mereka …
aku hanya memasang wajah datar.
Ah, aku merasa jatuh karena ranking dua itu.
.
.
Di SMP, aku dan Rina terpisah. Well ya, Rina masuk ke SMP swasta yang cukup terkenal dan aku tetap bertahan pada SMP Negeri Kebun Jeruk.
Disini titik hancurku. Titik dimana aku kehilangan semua rasa percaya diriku.
Di Daerahku,Kebun Jeruk, juga memiliki SMP, tapi tidak sebagus di SD. Memang, SDN Kebun Jeruk  memang hanya berstandar Nasional,tidak sebagus sekolah swastaku dahulu, tapi, kualitas pembelajaran, dan metode dari guru-guru mereka lumayan qualified. Sementara di SMPnya?
Sekolah ini penipuan!
Guru-gurunya bahkan tidak lebih pintar dari murid mereka. Selain itu banyak juga yang bolos mengajar. Kepala sekolah mereka hanyalah orang yang memiliki tanah atas berdirinya SMPN Kebun Jeruk ini. Ia tidak menjadi kepala sekolah selain karena hal tersebut. Selain kekurangan dalam segi pengajar, sekolah ini juga minim dalam hal mengikuti lomba.
Tidak ada lomba sama dengan mati.
Aku tidak bisa membandingkan kemampuanku jika tidak diadu dengan murid dari sekolah lain. selain itu, di SMP ini, aku tak punya saingan. Sama sekali. Aku kembali terbang diatas awang-awang, terlelap dalam puja-puji seperti masa lalu. Tapi sayang, level kemampuanku yang sekarang dengan yang dulu sudah berbeda.
Aku bisa merasakannya dari nilai-nilaiku yang biasanya superior, sekarang hanya sebatas super. Bahkan aku mulai berani mengambil langkah curang saat ujian dadakan.
Aku mulai merasa lemah. Aku tidak percaya pada kemampuan diriku sendiri.
Tapi, aku tidak menyerah dengan gampangan. Saat ujian akhir di SMP tiba, aku berlatih mati-matian, lebih mati-matian daripada saat di SD dahulu. Aku bisa merasakan efek samping karena bersantai-santai di SMP ini. Aku menjadi lengah karena merasa tak punya saingan disini. Aku kena imbasnya sekarang.
Bahkan untuk meraih nilai sembilan pun, aku harus mencuci darahku sendiri. Tidak seperti dahulu.
Entah bagaimana caranya, aku berhasil lulus dengan nilai rata-rata tertinggi, delapan koma tujuh lima.
Sungguh. Aku merasa senang tapi sekaligus malu.
Sekolah yang kutempati, kredibilitasnya sangat jongkok. Saat masa-masa try out untuk menghadapi ujian akhir saja, yang berhasil lulus hanya aku seorang. HANYA aku! Saat try out kedua, aku disegel di ruang guru dan mengerjakan ujian sendiri. Itu karena, saat try out pertama, rupanya aku membuat teman satu ruang ujianku mendapat nilai diatas rata-rata. Semuanya! mereka mencontek, tanpa kusadari.
Ah, bodoh!
Kembali lagi saat kelulusan SMP. Kuakui, aku kurang puas dengan nilai yang kudapat saat masa-masa itu. Tapi soal persahabatan, mereka cukup berharga buatku. Pesta perpisahan digelar di pegunungan dan kami mengadakan kemah kecil. Saat itu kami menginap dua malam.
Momen yang singkat, tapi cukup berkesan. Aku sempat menulis semuanya di buku diary.
.
.
Masuk SMA adalah momen yang paling mendebarkan. Level sekolahku kembali tinggi. Nilai yang kudapatkan saat di SMP lalu ternyata cukup untuk membuatku masuk di SMA terkemuka, SMA Negeri 10 Jakarta. Untuk pertamakalinya nilaiku—yang delapan koma tujuh lima itu—berada di urutan ke seratus tiga puluh empat dalam daftar empat ratus siswa yang diterima masuk.
Memang wow.
Untuk pertamakalinya, aku merasa jauh sekali dengan tempat tertinggi.
Tapi tak apa. aku berusaha untuk positif. Kemungkinan anak-anak yang masuk sini kebanyakan orang-orang yang pintar bermain belakang dan 'curang'.
Tapi ternyata, yang cerdas murni juga tak kalah banyaknya.
SMA adalah, masa pertama dimana aku merasakan persaingan yang amat sangat gila. Seumur-umur, baru pertamakalinya ada puluhan orang yang unggul diatasku. Dulu, paling sial aku jatuh ke ranking tiga. Tapi sekarang, kemungkinan merosot jauh bukan lagi sekedar omong kosong.
Aku mencoba bertahan di semester satu.
Orangtuaku sudah tak termasuk dalam hitungan sosok yang berpengaruh dalam dunia bisnis di Jakarta, jadi aku harus mengharumkan mereka dengan menjadi yang pertama.
Harus! Harus! Harus!
Tapi lagi-lagi, kenyataan membuatku harus terbangun dalam mimpi. Ini bukan sekedar permainan lomba ala anak SD. Bukan lagi sekedar bersaing untuk mendapatkan hadiah dari peringkat satu. Ini seperti taruhan. Mati-matian orang mengejar nilai untuk mendapatkan posisi tertinggi. Posisi yang kemungkinan bisa membuat mereka mudah dalam menjalani urusan perkuliahan nanti.
Tekad dan tujuan yang mereka miliki cukup tinggi dan matang. Itu sebabnya …
1 Boy Raffi Ahmad  9,5
2 Rina Haryanti        8,5
3 Lina Dwi Astuti     8,3
4 Salma Situmorang 8,0
Aku yang masih merasa kosong dengan tujuanku sendiri, jatuh ke lubang, semakin dalam. Sayang sekali, nilaiku terus menurun, begitupun dengan ranking yang kumiliki. Nilai rata-rata rapotku memburuk. Aku mulai panik. Rasa percaya diriku semakin tipis.
Satu hal lagi, di SMA ini, aku kembali sekelas dengan Rina Haryanti. Dia diatasku, berjalan semakin tinggi sementara aku, semakin menjauhi puncak. Untuk beberapa hal, aku merasa … tertinggal.
Sebenarnya, ada suatu hal yang membuat perubahan pada nilai-nilaiku itu. Kalau aku terus fokus pada pelajaran, mungkin hasilnya takkan seperti ini. Tapi, aku terlalu banyak mengurusi hal remeh. Akhir-akhir ini aku sering membuat cerpen kecil-kecilan, membuka usaha desain atau gambar, dan membaca novel online yang menjadi pelepas penatku sepanjang waktu.
Aku menyukai semua itu, hingga tak bisa memilih salah satunya untuk dikerjakan dengan serius. Tidak seperti masa SD, aku bahkan mulai terlihat acuh dengan pelajaran dan ranking. Di kelas dua, nilaiku semakin merosot.
1 Boy Raffi Ahmad  9,8
2 Asep Komarudin   9,7
3 Rina Haryanti        9,2
4 Lina Dwi Astuti    8,7
5 Satria Eka Wahyu 8,4
6 Salma Situmorang 7,9
BURUK!
Aku tertinggal tiga tangga dengan Rina dan sekarang, nilai kami terpaut jauh. Puncak emas itu bagaikan menghindar. Cahaya penuntunku seolah redup. Padahal aku sudah belajar keras. bukan hanya darah, aku bahkan memeras kulitku sendiri. Aku selalu belajar dengan kekuatan yang berlipat-lipat. Tapi entah kenapa, kecerobohanku merusak segalanya. Aku sering teledor, sering remedial karenanya.
Mungkin aku kesal. Mungkin aku lelah. Jadi, aku mulai tak peduli lagi. nilaiku semakin jatuh dan jatuh. Dan aku masih terus mengerjakan kegiatan seperti menulis dan menggambar iseng. Hanya mereka yang menghiburku. Aku bahkan mulai bermain game, meskipun tiga hari lagi ujian tengah semester akan datang. Ini semua kulakukan karena kupikir, jika tak menjadi pertama, lebih baik menunggu bumi menghancurkanku saja.
Tetapi, seseorang mengajarkanku sebuah hal kecil.
Dia menangkap basah diriku yang sedang bermain game.
"Lho? Salma?"
Tanganku yang sibuk menekan tombol-tombol berhenti bergerak. Wajahku menoleh padanya. Waktu itu musim semi, dan aku berada di sebuah game center dekat apartemen.
"Budi?"
Tubuhku sontak berdiri. Lelaki itu, teman sekelasku. Orang biasa yang tidak pernah lebih baik dariku. Dia bahkan tidak masuk dalam urutan duapuluh besar. betapa bodohnya.
"Sedang apa kau disini? Tiga hari lagi kita kan ada ujian tengah semester," aku hanya membuang wajah dan berjalan pulang, mengabaikan suaranya. Tapi, lelaki itu menangkap tanganku, "Tunggu sebentar,"
"Apa?" aku memasang wajah risih. Tak suka dengan caranya yang asal pegang.
"Kebetulan ada kau. Aku baru saja selesai menghadiri kelas tambahan. Dan Pak Ahmad memberiku latihan, cukup banyak. Kau bisa bantu aku?"
"Tidak," aku menjawab singkat.
"Ah, kenapaa? Kau kan pintar Salma," aku tidak lagi suka dengan pujian 'pintar atau cerdas' saat ini. Karena aku tidak merasa pintar lagi. kata-kata itu—untuk sekarang—lebih terdengar seperti sindiran bagiku, "Kau kan enak, sudah pintar, tidak seperti aku yang bodoh. Belajar pasti mudah bagimu ya—"
"Aku tidak merasa mudah saat belajar," aku menatap sinis pada bocah itu, "Aku ... memeras darahku sendiri untuk itu," suaraku sedikit skeptis. Bisa kurasakan Budi yang mulai bersikap tidak enak.
"A-ah. Maaf. B-bukan maksudku—"
"Tapi, aku takkan belajar sepulang dari ini. Aku sudah malas mengejar ranking. Tak ada gunanya lagi,"
Aku meninggalkan Budi dengan sebaris kalimat yang terdengar seperti curhatan ditelinganya. Ahh, memang bodoh. Aku membicarakan hal yang bersifat pribadi di depan orang asing.
Keesokkan harinya, Budi kembali memergokiku lagi di tempat game center yang sama. Diluar spekulasi, sepertinya ia sengaja mencariku, tidak seperti kemarin yang tiba-tiba bertemu.
"Bermain lagi?" aku menoleh sejenak, dan membuang muka cepat-cepat.
"Bukan urusanmu,"
"Kau tidak terlihat seperti Salma yang dulu,"
"Kau tahu apa soal aku? Kita tak pernah berbicara," lelaki itu mencengkeram bahuku, "H-hei!" ia menarik tubuhku dan menyeretku ke sebuah tempat, "Mau kemana sih!"
"Ke rumahku,"
"Hah?" aku jelas kaget disana. Apa yang mau ia lakukan dengan membawaku ke rumahnya? "Mau apa? Aku akan teriak sekarang—"
"Belajar. Aku banyak tugas dan latihan. Ayo kerjakan sama-sama sebelum ujian tengah semester tiba," ia menoleh sebentar kearahku dan tersenyum kecil disana.
Aku sempat berpikir bahwa Budi pasti bercanda.
.
.
Tidak. Dia serius.
Lelaki itu datang dengan sebuah nampan berisikan teh dan camilan kecil. Sementara di atas meja, beberapa lembar kertas dan tumpukan buku menggunung, seperti menunggu untuk dikerjakan. Aku menelan ludah. Mungkin saja, sudah banyak sub bab beberapa mapel eksak yang kulupa. Lagipula, sudah berminggu-minggu lamanya aku terlihat ogah dalam mencerna sebuah teori.
"Isi yang matematika dulu ya,"
"M-mau belajar yang bagian mana?"
"Yang diferensial. Ajarkan aku,"
aku mengambil buku catatannya sebentar dan mencerna baik-baik. Setelah itu, kujabarkan padanya dengan coretan.
Soal :
4x pangkat 2 + 3x
Dibagi,
2x pangkat 2 + 2
"Ingat rumusnya?" aku bertanya pada Budi saat membaca soal yang ditunjukkan padanya. Sesuai dugaan, lelaki itu kelimpungan dan membuka-buka bukunya kesetanan, "Sudah kuduga," aku menghela napas panjang. Kemudian menuliskannya di kertas coret-coretan, "Nah, Bu, Ingat ini baik-baik."
x/y = U/V
U'V – UV' dibagi V kuadrat.
"U aksen dikali V, dikurang U dikali V aksen, dibagi V pangkat 2. Hasil diferensial dari x merupakan U aksen sementara diferensial dari y merupakan V aksen." aku yakin laki-laki itu takkan mengerti dengan penjelasan semata. Jadi, kukerjakan satu soal hingga membuatnya membelalak paham.
U' = 8x + 3
V' = 4x
"Subtitusikan pada rumusnya,"
(8x + 3)(2x pangkat 2 + 2) – (4x pangkat 2 + 3x)(4x).
Dibagi (2x pangkat 2 + 2)kuadrat
Aku terus menuliskannya hingga hasil final. Dan Budi berseru kemudian.
"Ah! Begitu," ia meraih pensilnya dan mencoba untuk mengerjakan soal. Diluar dugaan, ia bisa menyelesaikannya dalam waktu yang sangat efisien.
Satu jam habis untuk membahas matematika—bukan hanya diferensial saja. Tetapi macam-macam sub bab yang lain—aku meneguk tehku dengan tingkat dahaga yang tinggi.
Tadinya kukira tugas belajar ini telah selesai. Tapi,
"Yak lanjut. Sekarang, ajarkan aku kimia,"
"Apa?"
"Kimia. Aku belum paham dengan larutan hidrolisa dan buffer," dia tersenyum cerah, disana.
Sementara aku? Bola mataku terasa kosong.
"Tidak bisakah aku istirahat sebentar?" aku mengeluh disana. Sepertinya Budi terlihat diam sejenak.
"Ah, k-kalau begitu kau istirahat saja. Aku mau coba-coba sendiri," ia membuka buku paket kimianya dan berkutat dengan serius disana.
Satu menit.
Limabelas menit.
Dua puluh menit
Tiga puluh menit. Tiga puluh menit ia hanya membolak-balikkan kertas!
"Kau … sungguh tak mengerti?"
"E-ehehe …"
karena kasihan, akhirnya kubantu sedikit untuk pelajaran itu. aku terpaksa membaca lagi dan mencerna isi dari buku kimia itu. butuh waktu bagiku untuk memahami pelajaran yang agak rumit, "Ah, begini, Budi," aku mulai menjelaskannya dengan kata-kata. pelajaran Kimia juga butuh teori, bukan sekedar hitungan saja. Jadi, mulutku sangat berfungsi kali ini.
Lagi, ia mengangguk dengan semangatnya.
"Oke, oke, makasih penjelasannya," ia mengisi soal-soal dengan wajah yang tertarik. Seolah saat ini Budi sedang mengikuti kuis cerdas cermat.
Tak kusangka, orang seperti dia bisa serius. Lebih serius daripada yang kukira.
"Hei," aku menutup buku bacaanku dan beralih mata padanya, "Kenapa kau peduli sekali dengan nilaimu? Bukankah, sekeras apapun kau berusaha, kau tidak akan mendapatkan ranking apapun?"
Budi berhenti menulis.
"Heh, aku tidak berusaha untuk mengejar ranking. Ayahku bilang, kalau ujian tengah semester ini nilaiku bagus, yang dalam arti minim remedial, dia akan mentraktirku makan di KFC sebanyak yang kuinginkan," lelaki itu tertawa aneh disana.
"Cuma … karena itu?" aku merasa heran. ia berhenti tertawa, dan tersenyum.
"Enggak juga sih. Tapi salah satu alasannya ya … itu," ia menggosok belakang kepalanya tiba-tiba, "Lalu … aku juga sudah berencana ingin masuk ke Oxford University dan membuka usaha alat-alat komputer. Kuharap nilai-nilai ujianku cukup untuk membuatku diterima di sana. Oh iya, kau sendiri ingin melakukan apa setelah lulus SMA?"
Aku menunduk, berpikir cukup keras untuk mendapatkan jawaban itu.
"Arsitek," aku menelan ludah, "Aku berencana ingin masuk ke Cambridge University dan menggeluti jurusan desain dan arsitektur. Entahlah, menjadi perancang bangunan atau tata ruang. Mungkin, kalau gagal, aku akan membuka usaha butik dan merancang pakaian. Tapi, membuat berbagai macam model sepatu dan tas juga kelihatannya menarik. Yang pasti, aku akan melakukan pekerjaan apapun yang berhubungan dengan seni dan desain," aku terdiam saat mendapati Budi yang memerhatikanku dengan cengiran lebarnya, "K-kenapa? Aku a-aneh ya?"
"Tidak," bocah itu semakin melebarkan cengirannya, "Aku senang melihatmu seperti ini,"
Deg
"B-biasa saja," aku membuang mukaku, "Lagipula, aku merasa itu cuman cita-cita yang tak tergapai. Cuman mimpi saja-"
"Bukan," Budi menangkap iris mataku dengan lekat. Bola matanya terlihat tajam dan serius saat itu, "Bukan mimpi Salma. Orang sepertimu, pasti bisa mewujudkannya,"
"Sudahlah. Aku tak mau terlalu muluk. Aku mengakui kekalahanku, kelemahanku. Aku tak bisa mendapat ranking satu lagi—"
"Kau harus tahu satu hal, Salma. menjadi yang teratas tak menjamin kesuksesanmu," ia mencoba untuk berbicara bijak. Sungguh aneh jika pembicaraan seperti itu keluar dari seorang bocah ugal-ugalan sepertinya, "Berhentilah mengecilkan dirimu sendiri. Kau bisa benar-benar roboh kalau terus-terusan pesimis,"
"Aku memang sudah roboh. Kau tak perlu menasihatiku segala,"
"Belum!" ia menepuk kedua pipiku dengan tangannya, "Masih terlalu cepat untuk menyerah. Kau masih kelas dua SMA. Perjalananmu masih panjang," tangannya yang sekarang kini meraih pundakku, "Kau itu pintar, Salma,"
"Tidak,"
"Kau pintar,"
"Hentikan,"
"Percayalah padaku. Bukan hanya aku saja yang mengatakan hal seperti ini. Orang-orang memang mengakuimu," aku berhenti mengeluarkan raut perlawanan. Budi meneruskan kalimatnya, "Kau kan orang nomor satu, yang bisa mengalahkan Boy,Rina,Lina,Asep,dan Satria!" aku terbelalak disana.
"B-bercandamu kelewatan, Bud." lelaki itu menggeleng.
"Aku tak bercanda," ia melipat kedua tangannya di dada, "Kau … kau bisa melukis lebih baik dari Boy. Memasak lebih baik dari Rina dan Lina. Kau juga pintar menjahit, orang-orang banyak yang menerima saranmu soal dekorasi mading. Kau pintar membuat presentasi, Asep saja tidak bisa membuat slide sebagus milikmu. Kalau soal mengarang cerita, Satria pasti kalah telak. Apalagi bahasa Inggrisnya sangat payah. Kau nomor satu Salma. Mereka tak bisa mengalahkanmu,"
Aku tergugah dengan kalimatnya, sejenak. Tetapi …
"Keunggulanku dari mereka, bukanlah sesuatu yang spesial. Lagipula, soal melukis, Aris masih lebih baik, jauh diatasku malah. Ujang yang tampangnya berandal pun, ternyata jago IT. soal membuat slide? Dia bisa melakukannya dengan mata tertutup. Aku jelas kalah. Lalu kalau masak dan menjahit—" Budi membekap mulutku tiba-tiba.
Aku KAGET!
"Hmpph!" aku menjerit di dalam genggamannya. Tetapi Budi tak lekas membuka mulutku.
"Itulah yang kumaksud dengan tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tidak ada yang nomor satu. Setiap manusia memiliki kemenangan dan kekalahannya masing-masing. Kau terlalu membuat patokan bahwa yang ranking adalah yang terbaik. Padahal, masih banyak faktor-faktor lain yang lebih dibutuhkan selain menjadi ranking," ia melepaskan tangannya saat aku mulai merasa tenang, "Semua keahlian tidak ada yang remeh. Kau tidak tahu ya? diam-diam banyak yang iri lho pada lukisanmu. banyak yang mengagumi cerita-ceritamu. Banyak yang bertanya bagaimana bisa rasa masakanmu seperti seorang ibu sejati. Keahlianmu tidak remeh, Salma. Kau harus tahu, bahwa … mengejar mimpi tak selalu harus menjadi nomor satu. Lagipula, diatas langit, selalu ada langit,"
Aku diam, sejenak.
"Dan bahkan … aku sendiri juga iri padamu. Sebenarnya, kau punya potensi untuk mengalahkan Boy dan Rina, juga yang lainnya. Sayangnya, perasaanmu selalu diliputi rasa minder. Padahal, hal sekecil itu bisa membuatmu jatuh," ia kembali menggosok tengkuk belakangnya, "Yah, coba kalau kau sedikit percaya diri. Seperti misalnya, saat ada guru yang bertanya siapa yang bisa mengisi soal, kau jangan nunggu sampai ditunjuk. Acungkan jarimu sendiri. Maju kedepan dengan keyakinanmu," ia nyengir lebar disana.
"A-aku tidak percaya," wajahku berpaling, memerah tiba-tiba, "A-aku tidak percaya, kau menceramahiku," ia mengacak-acak rambutku sambil tertawa.
"Dalam kehidupan, yang penting itu bukanlah menjadi pemenang, tetapi, bagaimana cara kita bertarung di medan pertempuran—"
"Budi.."
"Ng?"
"Terimakasih, untuk pencerahannya. Aku … belum menyerah," ia tersenyum lebar disana. Berhenti dengan ancang-ancangnya yang ingin berbicara panjang.
"Baguslah. Aku juga belum menyerah," ia meraih bukunya, dan berniat untuk kembali berkutat dengan pelajaran kimia.
"D-dimasa depan nanti … s-saat aku menjadi arsitek, aku yang akan … merancang rumahmu,"
Budi mendadak bengong saat itu. pensil yang sedang dipegangnya tiba-tiba saja terlepas. Ack, Bo-bodoh! Sepertinya aku mengatakan sesuatu yang gawat!
"M-maksudku … kau bisa m-mengandalkanku dimasa depan n-nanti,"
"Aku mengerti, Salma," ia tertawa aneh disana. Menarik poninya kebelakang dan tersenyum.
“Baiklah,sebaiknya kita garap saja soal Kimia ini!!”
.
.
.
Hening saat itu.
"Sudah lama, aku memerhatikanmu," nadanya serius, "Kau, aneh Salma. Tapi … kau terlihat menyenangkan. Kau mungkin tak ingat atau bahkan tak tahu, tapi, saat SD kita satu sekolah,"
Mataku membelalak.
"Itulah sebabnya, aku banyak tahu tentangmu. T-tapi, aku tak mau dibilang sok tahu,"
"Pantas,"
"A-Apa?" ia terkejut dengan celetukkan yang kubuat.
"Pantas saja, kata-katamu menusukku," wajahku memerah, panas. Mataku berpaling, "Kau memang pintar memberi nasehat. Pantas saja anak-anak mengandalkanmu," aku tertawa kecil disana. Tanpa sadar.
“Terimakasih,telah menyadarkanku dari keterpurukan.”
 “Tak apalah,bukankah itu adalah tugas seorang teman?”
Senyum Salma mengembang.



Selesai



Bagaimana cerpen saya? Burukkah? Silahkan tinggalkan komentar,terima kasih :D


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

About Me

Foto saya
Cungkring,item,tinggi,itulah saya. Biasa dipanggil Ricky,saya saat ini sekolah di MAN Yogyakarta 1. Seorang yang suka FF (Fanfiction.net),biasanya baca Naruto *terutama Akatsuki. Sambil sesekali main gitar.Terkadang mengamati keadaan politik negeri ini yang carut marut.

Member of

Komunitas Blogger Jogja

- Copyright © 2013 Ricky Blog -Original template, click- Designed by Johanes Djogan - Edited by Ricky Anggoro-